Beranda | Artikel
Muqaddimah Shahih Muslim
Jumat, 4 Oktober 2024

Bersama Pemateri :
Ustadz Dr. Emha Hasan Ayatullah

Muqaddimah Shahih Muslim adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Syarah Muqaddimah Shahih Muslim. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Dr. Emha Hasan Ayatullah pada Sabtu, 29 Rabiul Awal 1446 H / 3 Oktober 2024 M.

Kajian Islam Tentang Muqaddimah Shahih Muslim

لَيْسَ مِنْ صَاحِبِ بِدْعَةٍ تُحَدِّثُهُ عَنْ رَسُولِ اللهِ بِخِلَافِ بِدْعَتِهِ بِحَدِيثٍ إِلَّا أَبْغَضَ الحَدِيثَ

“Tidaklah ada seorang pelaku bid’ah yang engkau sampaikan kepadanya hadits dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang bertentangan dengan kebiasaannya, kecuali dia akan membenci hadits tersebut.”

Subhanallah. Ketika seseorang telah memiliki kebiasaan dan dibesarkan dengan kebiasaan tersebut, sangat sulit baginya untuk mengubah sikap, apalagi meninggalkan atau mengubah gaya ibadahnya. Terlebih jika kebiasaan itu ternyata membawa dampak fatal bagi agamanya. Maka, pada saat itu, dia diuji. Apakah dia benar-benar gigih dan jujur dalam mengikuti ajaran Islam (sunnah Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam) atau tidak? Di saat itulah agamanya dipertaruhkan—seberapa besar ketundukannya kepada Allah dan Rasul-Nya.

Sebagai seorang muslim, kita harus bangga mempelajari hadits. Seorang ulama berkata, “Mendengarkan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah suatu kehormatan dan kemuliaan.” Orang yang mempelajari hadits merasa memiliki kedudukan terhormat. Dia tidak perlu mencari pujian atau kehormatan dari orang lain, karena kebanggaannya adalah pada agamanya.

Mendengar hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, seorang muslim akan merasa bangga. Kalau dia ingin mencari dunia atau kehormatan, maka cukup baginya dengan mendengarkan hadits. Itu merupakan satu kebanggaan untuknya. Namun, bagi mereka yang mencari akhirat, hadits adalah petunjuk dari Allah. Artinya, orang yang belajar hadits adalah orang yang beruntung. Bahkan, jika dia sedang dalam situasi mencari dunia, dia masih bisa menjadikan hadits sebagai lambang kehormatan seorang muslim ketika mengenal hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Sufyan ats-Tsauri rahimahullah pernah berkata bahwa seandainya seorang ahli hadits tidak memiliki keistimewaan lain selain menjadi orang yang banyak bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka cukup itu saja merupakan kehormatan dan pahala yang besar. Setiap kali ia membaca hadits-hadits Nabi, ia akan terus bersalawat. Ini adalah keistimewaan dan kehormatan bagi orang yang mempelajari ilmu hadits. Namun, ilmu hadits yang menjadi dasar sunnah, pegangan, dan ajaran Islam sesungguhnya semakin asing. Orang jarang mengenalnya.

Salah seorang ulama salaf bernama Yunus rahimahullah mengatakan, “Tidak ada sesuatu yang lebih asing daripada sunnah (ajaran Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam). Bahkan, yang lebih asing lagi adalah orang yang mengajarkannya.” Bukan hanya asing, kadang orang merasa tidak percaya diri untuk mengajarkannya, atau mungkin tidak tertarik untuk mempelajarinya. Padahal, hadits merupakan sebab keselamatan.

Ajaran Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang bersumber dari hadits, adalah satu-satunya penyebab keselamatan. Imam Malik rahimahullah berkata, “Ajaran Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bagaikan bahtera Nabi Nuh. Orang yang menaiki kapal itu akan selamat, tetapi orang yang enggan naik akan tenggelam.” Orang yang tidak mempelajari hadits, bagaimana ia bisa beribadah dengan benar?

Oleh karena itu, menjadi tanggung jawab bersama bagi kaum muslimin saat mereka justru jauh dari peninggalan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tersebut. Sangat disayangkan ketika umat Islam, yang mayoritas, tidak memahami hadits. Pernah dalam sebuah diskusi, seseorang bertanya, “Hadits itu apa? Kenapa kita harus belajar hadits?” Ketika kita mempelajari hadits atau berbicara tentang tata cara ibadah, seperti salat, dan ternyata belum sesuai dengan ajaran Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam karena tidak ada dalam hadits, ada sebagian orang yang bertanya, “Hadits itu apa?”

Kita terkejut, mengapa masih ada orang yang tidak mengenal hadits? Umat Islam yang mayoritas, ternyata banyak yang belum memahami hadits dengan benar. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi kaum muslimin. Bagaimana dengan penilaian terhadap hadits, apakah shahih atau tidak? Sebagian orang hanya mendengar bahwa “ini ada haditsnya”, tetapi ketika hadits itu palsu, mereka tidak mengetahuinya. Mereka tidak memahami hadits yang dibuat-buat.

Dalam Kitab Muqaddimah Shahih Muslim, ditegaskan betapa bahayanya seseorang meriwayatkan hadits yang tidak shahih. Menjadi tanggung jawab orang yang memahami hadits untuk menyampaikan hadits-hadits yang shahih. Salah satu sebab tersebarnya hadits yang tidak shahih, bahkan hadits palsu, di tengah kaum muslimin adalah karena hadits shahih tidak dipelajari dengan tepat. Inilah yang mendorong para ulama ahli hadits, seperti Imam Muslim, tergerak untuk menyusun kitab hadits yang shahih. Imam Muslim menyusun Shahih Muslim, Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak, dan Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahihnya. Mereka terdorong oleh tanggung jawab agar masyarakat tidak merasa asing dengan hadits shahih, terutama ketika hadits-hadits buatan lebih dikenal.

Di antara ahli ibadah, ada yang menyebarkan hadits palsu dengan tujuan baik, yakni untuk memotivasi kaum muslimin beribadah. Ketika mereka merasa ajakan ibadahnya kurang kuat, mereka pun membuat hadits palsu. Bahayanya ada dua: pertama, mereka menyampaikan hadits palsu; kedua, mereka lebih dipercaya oleh masyarakat. Ini menyebabkan hadits palsu semakin menyebar. Al-Iraqi rahimahullah menegaskan hal ini dalam kitab Alfiyah. Orang-orang yang membuat dan memalsukan hadits memiliki motif yang beragam, tetapi yang paling berbahaya justru mereka yang dikenal zuhud dan ahli ibadah. Mengapa? Karena ketika mereka menyampaikan hadits palsu, masyarakat lebih mudah menerimanya karena reputasi keshalihan dan ibadah mereka.

Di tengah kaum muslimin, hadits tentang membaca Al-Qur’an, dzikir, shalat, dan ibadah tertentu sering kali disampaikan. Namun, terjadi pembualan bertingkat. Dusta adalah dosa besar, tetapi berdusta atas nama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam merupakan kedustaan yang lebih parah. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda dalam hadits yang shahih,

إِنَّ كَذِبًا عَلَىَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ ، مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta pada selain namaku. Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ketika seseorang menyampaikan hadits yang lemah, bahayanya sangat besar, terutama jika ia meyakini bahwa hadits itu shahih, padahal sebenarnya palsu. Ini merupakan dosa besar. Jika seseorang tidak sengaja menyampaikan karena kebodohan, maka ia harus belajar. Namun, ketika seseorang tidak peduli dan tidak memperhatikan, masalahnya semakin besar. Ada orang yang berkata, “Itu hadits lemah menurutmu, karena kamu selalu menyebut hadits lemah. Menurut saya, hadits ini shahih, tidak ada masalah.” Atau, “Guru saya mengatakan hadits itu shahih.”

Kita tegaskan, masalahnya bukan pendapat guru atau perbedaan pandangan. Masalah utamanya adalah ketika ahli hadits telah menyatakan bahwa hadits tersebut lemah, namun kita dengan mudahnya menyampaikan hadits yang lemah. Hakikatnya, kita telah menyampaikan sesuatu yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak katakan. Kita menisbatkan perkataan kepada Nabi, padahal beliau tidak mengucapkannya. Maka seseorang perlu berhati-hati.

Imam Muslim rahimahullah ingin menyadarkan masyarakat bahwa kita memiliki tanggung jawab untuk mensosialisasikan hadits-hadits yang shahih kepada kaum muslimin. Hal ini penting agar masyarakat dapat membaca, memahami, dan berpijak pada landasan yang tegas. Ketika seseorang beribadah dengan menggunakan hadits yang shahih, itu sudah merupakan ibadah yang banyak. Tidak perlu lagi mencari hadits-hadits yang lemah. Ibadah dengan hadits yang shahih sudah mencakup segala aktivitas kaum muslimin, baik itu dzikir, shalat, puasa, membaca Al-Qur’an, dan lain-lain.

Kalaupun ulama menyebutkan hadits yang lemah, biasanya hanya sebagai penguat atau pelengkap, atau untuk dijelaskan kelemahannya.

Muqaddimah Shahih Muslim

Pada kajian ini kita akan membahas pendapat dan penegasan dari Imam Muslim dalam mukadimahnya. Kita tahu bahwa Imam Muslim menyusun kitab shahihnya dengan berhati-hati, hanya mencantumkan hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang dipercaya dalam hal agama, ilmu, dan hafalan mereka.

Imam Muslim juga menulis sebuah mukadimah yang menegaskan poin-poin penting dalam ilmu hadits. Kita akan membahas bagaimana para ulama sangat disiplin dan berhati-hati. Jika ada yang bertanya mengapa mereka begitu tegas dan keras, jawabannya adalah karena hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam harus dijaga dari kepalsuan dan hal-hal yang dapat merusak keasliannya.

Sudah sepatutnya kaum muslimin lebih mengenal para ulama seperti Imam Muslim daripada hanya mengenal orang-orang yang melalang buana di dunia, namun tidak memberikan banyak jasa dalam agama. Sementara itu, jasa para ulama sangat besar dalam mempermudah umat untuk beribadah dengan benar.

Mengenal Imam Muslim

Imam Muslim rahimahullah adalah salah seorang ulama. Beliau dilahirkan di daerah Naisabur dengan nama lengkap Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyadz Al-Qusyairi An-Naisaburi. Nasab “al-Qusyairi” disematkan kepada beliau karena berasal dari salah satu kakek beliau, Qusyair bin Ka’ab, yang berkebangsaan Arab. Berbeda dengan gurunya, Imam Bukhari, yang bukan keturunan Arab.

Beliau juga diberi gelar “an-Naisaburi” karena berasal dari Naisabur, yang kini berada di sekitar wilayah Iran, dekat kota Masyhad dan sekitarnya. Imam Muslim dilahirkan pada tahun 206 H, yang merupakan pendapat terkuat menurut Imam Nawawi dan Abu Amr bin Shalah.

Beliau tumbuh di keluarga yang ahli ilmu. Ayahnya adalah seorang alim dan ahli hadits, sehingga Imam Muslim sudah dibiasakan mendengarkan hadits sejak dini. Hal ini merupakan catatan penting karena sangat jarang terjadi. Sejak usia dini, beliau sering diajak ke majelis untuk mendengarkan hadits pada usia 12 tahun. Hingga usia 14 tahun, beliau sudah mulai melakukan perjalanan untuk mencari sanad hadits. Beliau mengunjungi berbagai wilayah seperti Hijaz (Makkah dan Madinah), Iraq (Kufah dan Basrah), Mesir, dan bahkan Samarkand.

Beberapa ulama meragukan apakah beliau pernah masuk ke Kota Syam, tetapi beliau pasti telah mengunjungi banyak wilayah lain bersama ayahnya dan para ahli hadits di zamannya.

Imam Muslim rahimahullah memulai perjalanannya ketika berusia 14 tahun. Jika dibandingkan dengan masa sekarang, usia ini seperti anak-anak SMP, sementara usia 12 tahun setara dengan kelas enam SD. Saat itu, beliau sudah mempelajari hadits. Kita bisa melihat bagaimana lingkungan sangat mendukung pembelajaran ini. Hal ini penting, karena ketika seorang anak terbiasa mendengarkan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka kecintaan terhadap hadits akan tumbuh di dalam hatinya. Mereka juga terbiasa mempertanyakan apakah ibadah yang mereka lakukan memiliki dasar hadits atau tidak. Ini menjadi kebiasaan yang baik di tengah masyarakat ketika mereka sudah akrab dengan sunnah.

Namun, bagi mereka yang tidak terbiasa mempelajari sunnah, biasanya hanya melaksanakan ibadah tanpa memeriksa dalilnya. Seandainya kebiasaan mempelajari sunnah ini tumbuh di kalangan anak-anak kaum muslimin, tentu hasilnya akan luar biasa. Semoga Allah merahmati sebagian ulama ahli hadits yang sangat peduli menyampaikan hadits kepada anak-anak, karena mereka pun tidak dikecualikan untuk belajar.

Hal ini diceritakan oleh Al-A’mas rahimahullah, seorang ulama ahli hadits di daerah Iraq yang meninggal pada tahun 148 Hijriah. Ketika beliau mengajarkan hadits kepada anak-anak kecil, beliau juga mengajarkan sanadnya. Orang-orang yang melihat itu merasa aneh dan bertanya, “Mengapa engkau mengajari anak-anak kecil?” Beliau pun menjawab, “Anak-anak kecil ini akan memelihara agama ini untuk kalian nanti.” Sekarang mereka menghafalkan, tetapi suatu saat nanti mereka benar-benar akan membawa dan memikul hadits-hadits ini.

Hal ini menunjukkan betapa seriusnya para ulama dalam mendidik anak-anak. Dalam kitab Syaraf Ashabil Hadits, disebutkan bahwa sebagian ulama bahkan mewajibkan anak-anak mereka untuk mendengarkan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, hingga mereka terbiasa dan mencintai hadits sejak dini. Mereka pun akan tumbuh menjadi generasi yang akrab dengan hadits sejak kecil.

Bagaimana pembahasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian dan simak penjelasan yang penuh manfaat ini..

Download MP3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54544-muqaddimah-shahih-muslim/